
Sep 20, 2009
Sep 9, 2009
Sep 4, 2009
Quadrilaterals


Aug 31, 2009
Keren, Mahasiswa Gaza Bisa Buat Mobil Sendiri

Sebuah tim yang terdiri dari beberapa mahasiswa Universitas Khan Younes, Gaza, berhasil membuat inovasi dan menatah prestasi yang mencengangkan: mereka mampu membuat mobil sendiri. Mobil tersebut bekerja dengan mesin diesel dan dinamo elektronik, serta dibuat dari sisa-sisa onderdil mobil tua dan bobrok.
Meski mobil hasil kreasi mereka terbilang rakitan, namun tentu saja ini adalah prestasi yang sangat membanggakan. Pasalnya, mereka berinovasi di tengah kecamuk kondisi Gaza yang remuk redam akibat penjajahan, blokade, dan agresi Israel.
Ide awal dari kreasi itu bermula dari gagasan cemerlang dekan fakultas teknik Universitas Khan Younes, Dr. Ghassan Abu Araf, yang berangan-angan kampusnya bisa ikut serta dalam kompetensi pembuatan mobil taraf internasional yang rutin digelar setiap tahunnya di Inggris.
Namun, Abu Araf mendapat banyak kendala untuk keikut sertaan fakultas binaannya dalam sayembara itu karena beberapa kendala. Selain karena minimnya fasilitas teknologi di Gaza, kondisi wilayah itu yang carut-marut, juga karena sayembara itu menstandarkan hasil kreasi yang diikutsertakan berupa mobil bertenaga cahaya, bukan lagi elektronik.
Akhirnya, gagasan dan semangat kreatif Abu Araf untuk dapat membuat mobil sendiri itu pun ia sampaikan kepada para mahasiswanya. Mereka pun menyambut baik dan dimulailah proyek kerja bareng ini.
Sejak awal mula penggarapan, para mahasiwa sudah menampakkan keoptimisannya jika mereka bisa membuat mobil rakitan. "Kami yakin kami mampu membuatnya jika dikerjakan dan dijalani dengan serius dan telaten," tutur Ahmad Shaydam, ketua tim.
Selain itu, tutur Shaydam, tim juga terdorong oleh semangat kuat ingin membuktikan kepada dunia, bahwa sekalipun Gaza terpuruk dan hancur akibat blokade dan agresi Israel, namun tidak menjadikan orang-orang Gaza mengangkat bendera putih, apalagi menjadi kambing congeknya Israel.
"Dan melalui karya, kami hendak curi perhatian dunia agar lebih dapat melihat kami," tambah Shaydam.
Dan, simsalabim, setelah kerja keras yang dilaluinya enam bulah, akhirnya lahirlah kreasi cerdas para mahasiswa Gaza ini.
Shaydam mengisahkan, bahan utama "jeroan" mobil kreasi timnya itu merupakan ramuan dari sisa-sisa onderdil mobil tua dan bobrok yang sudah tidak dipakai, beberapa di antaranya diambil dari bangkai mobil yang menjadi korban serangan Israel.
Setelah selesai merancang bagian dalam, tim mahasiswa itu pun mulai merancang struktur bagian dan tampilan luar mobil yang memakai bahan fiberglas.
"Alhamdulillah, mobil ini mampu berjalan hingga kecepatan 100 KM/jam," terang Shaydam.
Ditambahkan Shaydam, biaya yang dihabiskan untuk membuat mobil rakitan timnya ini pun tak banyak, hanya sekitar 4000 dolar Amerika saja, atau setara dengan 40 juta rupiah.
Tentu saja, pihak yang pertama kali terbelalak atas kreasi para mahasiswa Gaza ini adalah para saudaranya sesama negara-negara Arab, terlebih lagi Arab Teluk seperti Saudi Arabia, yang nota benenya adalah negara kaya raya namun miskin kreasi.
sumber : eramuslim.com
Aug 29, 2009
Eniya, Membuka Jalan ke Kota Hidrogen
Selama belajar 10 tahun hingga memperoleh gelar doktor di Jepang, 1993-2003, inspirasi puncak Eniya Listiani Dewi meretas jalan menuju ”kota hidrogen” di Indonesia, seperti tahun 2003 saat Jepang mulai mewujudkannya di kota industri otomotif, Fukuoka.
Eniya berhasil membuka jalan ke kota hidrogen setelah memproduksi ”jantung” sel bahan bakar hidrogen dengan komponen lokal 80 persen sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pasaran di Asia kini. Masyarakat Ilmu Polimer Jepang memberinya penghargaan atas temuan tersebut dalam simposium internasional di Kobe, 29 Mei 2009 lalu. Sebanyak 4.000 ahli polimer dari berbagai penjuru dunia diundang menghadiri kegiatan itu.
Namun, pemberangkatan Eniya dan semua peserta yang lain kemudian dicegah karena saat itu Kobe terserang pandemi flu A-H1N1. Simposium dibatalkan. Simbol anugerah dikirimkan ke Indonesia dan diterima Eniya akhir Juni 2009.
”Justru masyarakat Jepang lebih dulu menghargai temuan hasil riset tim kami,” ujar Eniya, Kepala Perekayasaan Fuel Cell atau Sel Bahan Bakar pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Eniya, putri pertama dari dua bersaudara pasangan Hariyono (almarhum) dan Sri Ningsih, asal Magelang, Jawa Tengah, ini meraih banyak penghargaan di bidangnya.
Memulai dari Akhir
Memahami kota hidrogen mencakup pemenuhan kebutuhan energi masyarakat kota secara ramah lingkungan. Tujuannya, melanggengkan kehidupan kota tanpa risiko pencemaran karena sel bahan bakar hidrogen menghasilkan energi tanpa mengemisi karbon dan limbahnya hanya air dan panas.
Aplikasi sel bahan bakar untuk kota hidrogen bertujuan memenuhi kebutuhan rumah tangga, mulai dari penerangan, memasak, sampai kendaraan. Jadi, knalpot kendaraan tak mengepulkan asap, tetapi mengucurkan air murni.
Menurut Eniya, Jepang membuat simulasi kota hidrogen dengan membagikan generator sel bahan bakar berkapasitas 1.000 watt-2.000 watt kepada 2.000 keluarga di Fukuoka untuk penggunaan cuma-cuma selama lima tahun. Disediakan pula angkutan umum bus dengan bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan.
Keinginannya mewujudkan kota hidrogen di Indonesia memang terkesan tak mungkin. Di balik itu Eniya mengungkap spirit dari teknokrat BJ Habibie dalam teknik berinovasi, yaitu start from the end atau memulai dari yang terakhir.
Kenangan akan Habibie terus mengendap karena Eniya berhasil mewujudkan keinginannya sejak kecil untuk studi di luar negeri berkat kebijakan Habibie era 1990-an. Saat itu, Kementerian Negara Riset dan Teknologi di bawah Habibie memberi beasiswa bagi lulusan SMA berprestasi untuk melanjutkan studi ke berbagai negara industri. Ia terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa dalam program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Eniya menyelesaikan S-1 di Universitas Waseda, Tokyo, hingga memperoleh gelar doktor (S-3) pada Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis, dan Sel Bahan Bakar. Teknologi sel bahan bakar termasuk the end atau bagian akhir pengembangan teknologi mutakhir menyongsong peradaban ramah lingkungan dalam pemenuhan energi dengan sumber energi tak terbatas, seperti air sebagai sumber hidrogen.
Menurut Eniya, metode produksi hidrogen, selain proses elektrolisis dari air, dapat pula ditempuh seperti di Fukuoka, yakni mengubah metana dari berbagai bahan bakar gas, termasuk biogas menjadi hidrogen.
Memupuk Harapan
Seperti para periset dan perekayasa lain, Eniya berharap ada investor yang mampu mengaplikasikan temuannya untuk pengembangan sel bahan bakar secara kompetitif. Ia membuka secara transparan, bagaimana mengganti komponen ”jantung” sel bahan bakar impor dari AS atau Jepang dengan komponen-komponen lokal.
Manufaktur generator sel bahan bakar dengan komponen lokal sudah diuji menurunkan 80 persen harga dari pasaran Asia. Substitusinya antara lain pada material katalis elektrode sel bahan bakar impor dengan logam platina, yang berharga jauh lebih mahal, diganti komponen lokal vanadium yang fungsi dan keandalannya tak jauh beda.
Penggunaan nafion pada polimer elektrolit sel bahan bakar impor seharga 1.000 dollar AS (sekitar Rp 10 juta) per meter persegi disubstitusi proses sintesis hidrokarbon polimer nanosilika berharga Rp 1,5 juta per meter persegi, atau berkurang 85 persen. Substitusi material impor juga untuk komponen lain sel bahan bakar yang dirangkai berurutan membentuk lapisan stack fuel cell atau generator sel bahan bakar.
Komponen itu meliputi end-plate, current collector, graphite bipolar-plate, dan membrane electrode assembly (MEA) sebagai ”jantung” sel bahan bakar. Rangkaian stack fuel cell impor (tanpa MEA) senilai Rp 23,95 juta bisa diturunkan menjadi Rp 5 juta.
”Untuk mengaplikasikan temuan ini, saya berpijak pada upaya memproduksi listrik permukiman dengan sumber hidrogen yang menyesuaikan sumber daya setempat. Aplikasi untuk sistem transportasi bisa menyesuaikan kemudian,” ujar Eniya.
sumber : http://edukasi.kompas.com
Aug 28, 2009
Want a Great Job? Stick With Math!
by Deb Russell
It's often been said that math is an opportunity gateway. After all, some of the best jobs out there require degrees that have the higher maths. Having said that, an interesting trend that's been emerging is that more and more there's a growing need in jobs that require statistics. With the growing need for research comes the growing need for analyzing data; usually for improvement. Improvement in; production, sales, student achievement, advertisign, better pharmaceuticals, just to name a few. A background in stats is a grad's best friend!
Take Carrie Grimes for instance. Carrie uses statistical analysis of endless amounts of data to figure outways to improve its search engine. Carrie's story can be found in the New York Times And, if that doesn't convince you, have a look at the Career Centre at the American Statistical Association.
source : About.com : Mathematics
It's often been said that math is an opportunity gateway. After all, some of the best jobs out there require degrees that have the higher maths. Having said that, an interesting trend that's been emerging is that more and more there's a growing need in jobs that require statistics. With the growing need for research comes the growing need for analyzing data; usually for improvement. Improvement in; production, sales, student achievement, advertisign, better pharmaceuticals, just to name a few. A background in stats is a grad's best friend!
Take Carrie Grimes for instance. Carrie uses statistical analysis of endless amounts of data to figure outways to improve its search engine. Carrie's story can be found in the New York Times And, if that doesn't convince you, have a look at the Career Centre at the American Statistical Association.
source : About.com : Mathematics
Aug 27, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)